Selasa, 14 Juni 2011

BATIK BAKARAN WETAN

AYOOO . . . .!!
Buruan beli batik yang asli dalam negEri ,,,,,,,
Cintai Produk dalam NegEri . . . .

Senin, 13 Juni 2011

Proses pembuatan batik bakaran

Batik Tulis merupakan batik yang spesial dan mahal dibanding jenis batik yang lain, karena didalam pembuatan batik ini sangat diperlukan keahlian serta pengalaman, ketelitian, kesabaran, ketekunan, ketelatenan dan juga waktu yang lama untuk menyelesaikan sebuah batik tulis. Untuk sebuah batik tulis paling cepat dapat diselesaikan selama dua sampai tiga minggu oleh seorang pembatik, itupun dikarenakan cuaca yang cerah dan desain motif yang biasa dan juga tidak terlalu rumit.
Berikut ini adalah alat dan bahan yang harus disiapkan untuk membuat batik tulis :
1. Kain Mori
Biasa terbuat dari katun atau sutra yang mempunyai warna dasar putih.
2. Canting sebagai alat pembentuk motif
Terbuat dari tembaga yang dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat menampung lilin dan di ujung belakangnya disambung dengan sebuah bambu kecil yang digunakan sebagai pegangan sehingga canting dapat digunakan untuk melukis pada sebuah kain mori.
3. Gawangan dan Bandul
Gawangan terbuat dari bambu atau kayu yang diujung kiri dan kanannya dikasih kaki dari bahan bambu/kayu juga sehingga membentuk sebuah gawang yang berfungsi untuk menyampirkan kain mori tatkala mau dilukis dengan canting dan fungsi bandul disini untuk memberi pemberat supaya kain tidak terbang ketika terkena angin.
4. Lilin atau Malam
Lilin adalah malam yang dicairkan yang digunakan untuk melukis pada sebuah kain mori yang bertujuan untuk menutup kain mori sesuai motif yang diinginkan agar tidak terkena pewarna pada saat kain mori diwarnai sehingga kain yang tertutup lilin akan membentuk motif yang diinginkan pada saat lilin dihilangkan..
5. Panci dan kompor kecil untuk memanaskan lilin (malam)
Panci biasanya terbuat dari bahan aluminium dan kompor kecil berbahan bakar minyak tanah, karena minyak tanah sekarang langka bisa diganti kompor LPG kecil atau kalau mau kembali ke masa lalu memakai kayu bakar.
6. Larutan pewarna
Larutan pewarna bisa berasal dari sintetis atau alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Adapun tahapan-tahapan dalam proses pembutan batik tulis adalah sebagai berikut :
1. Langkah pertama adalah membuat desain atau motif batik yang biasa disebut “molani”. Dalam penentuan motif, biasanya tiap orang memiliki selera berbeda-beda. Ada yang lebih suka untuk membuat motif sendiri, namun yang lain lebih memilih untuk mengikuti motif-motif umum yang telah ada. Motif yang kerap dipakai di Indonesia sendiri adalah batik yang terbagi menjadi 2 : batik klasik, yang banyak bermain dengan simbol-simbol, dan batik pesisiran dengan ciri khas natural seperti gambar bunga, burung dan kupu-kupu. Membuat design atau motif ini dapat menggunakan pensil atau menggunakan kertas yang sudah ada gambar polanya kemudian ditempel dengan kain mori dan caranya diterawang untuk melakukan proses selanjutnya.
2. Setelah selesai melakukan molani, langkah kedua adalah melukis dengan lilin (malam) menggunakan canting dengan mengikuti pola tersebut, pada proses ini gawangan dipakai untuk menyampirkan kain mori yang sedang dilukis menggunakan canting, proses ini biasa disebut “ngengkreng” yang artinya melukis lilin ke kain untuk yang pertama kalinya.
3. Proses selanjutnya mengisi motif atau ornamen-ornamen yang telah dibuat pada proses sebelumnya, proses ini biasa disebut “isen-isen”,isen-isen dapat dibedakan dua jenis yaitu “cecek” dan “sawut”, yang dimaksud cecek adalah titik-titik kecil yang membentuk sebuah ornamen dan sawut adalah garis yang diulang-ulang untuk menutup sebuah ornamen yang nantinya akan diwarna sogan (coklat gosong).
4. Tahap selanjutnya, menutupi dengan lilin (malam) pada bagian-bagian yang akan tetap berwarna putih (tidak berwarna), proses ini biasa disebut “nembok”. Canting untuk bagian halus, atau kuas untuk bagian berukuran besar (penggunaan kuas untuk mempercepat proses). Tujuannya adalah supaya saat pencelupan bahan kedalam larutan pewarna, bagian yang diberi lapisan lilin tidak terkena.
5. Tahap berikutnya adalah proses “medhel”, proses ini adalah pewarnaan pertama pada bagian yang tidak tertutup oleh lilin dengan mencelupkan kain tersebut pada warna biru tua.
6. Setelah selesai dicelupkan, kain tersebut di jemur dan dikeringkan (pengeringan cukup diangin-anginkan di tempat yang teduh tidak terkena sinar matahari langsung).
7. Setelah proses diatas selesai kemudian dilakukan proses “ngerok” dan “ngremok”, yang dimaksud ngerok adalah proses pengerokan pada ornamen sawut yang nantinya dilakukan pewarnaan sogan dengan menggunakan pisau atau benda logam yang ujungnya tipis dan agak tajam, kemudian dilanjutkan proses ngremok yaitu mengucek atau mencuci bagian yang telah dikerok agar bersih dari lilin.
8. Setelah kering, kembali melakukan proses pembatikan yaitu melukis dengan lilin (malam) menggunakan canting untuk menutup bagian ornamen cecek dan ornamen lain yang akan tetap dipertahankan pada pewarnaan yang pertama, proses ini biasa disebut “mbironi” yang artinya menutup untuk mempertahankan warna biru.
9. Setelah selesai proses mbironi kemudian dilanjutkan dengan proses “nyoga”pada proses ini dilakukan pencelupan warna sogan yaitu warna coklat tua atau coklat gosong, pada proses ini ornamen sawut dan ornamen yang tidak ditutup dengan lilin yang akan berwarna sogan.
10. Proses berikutnya, menghilangkan lilin (malam) dari kain tersebut dengan cara mencelupkan kain tersebut berulang kali ke dalam air panas diatas tungku sampai lilin benar-benar bersih tidak menempel pada kain, proses ini biasa disebut “nglorot” yang artinya meluruhkan atau menghilangkan lilin dari kain.
11. Setelah kain bersih dari lilin dan kering, dapat dilakukan kembali proses pembatikan dengan penutupan lilin (menggunakan alat canting)untuk menahan warna pertama dan kedua, apabila diinginkan penambahan warna sesuai kombinasi warna yang dibutuhkan. Proses membuka dan menutup lilin (malam) dapat dilakukan berulangkali sesuai dengan banyaknya warna dan kompleksitas motif yang diinginkan.
12. Proses selanjutnya atau proses terakhir adalah “nglorot” kembali, tujuannya adalah untuk menghilangkan lapisan lilin, sehingga motif yang telah digambar sebelumnya terlihat jelas. Proses terakhir adalah mencuci kain batik tersebut dan kemudian mengeringkannya dengan menjemurnya sebelum dapat digunakan dan dipakai.

motif batik bakaran wetan















Motif : Lung Kupu (Tulis)














Motif: Simetris (Proses Cap Lilin)














Motif: Bledak Kepiting














Motif: Bunga (Proses Cap Lilin)














Motif: Bledak (Aplikasi Gendongan)














Motif: Irengan

Motif : Udan Mas

Motif : Sampek Intai

Motif : Kembang Bakung

Motif : Manuk Glatik

Motif : Kembang Mlati

Motif : Kembang Matahari

Motif : Njuono

Motif : Cucak Rowo

Motif-Motif Klasik

Motif : Limaran
Motif : Bregat Ireng
Motif : Manggaran
Motif : Gandrung
Motif : Kedele Kecer
Motif : Sido Mukti
Motif : Nogo Rodjo
Motif : Magel Ati
Motif : Rawan
Motif : Limaran Gandrung (Aplikasi Baju)
Motif : Udan Liris
Motif : Parang (Aplikasi Sarung)
Motif : Sarung Parang
Motif : Sarung Ukel
Motif : Kedele Kecer (Aplikasi Sarung)
Motif: Bledak Kopik

Motif: Wahyu Tumurun
Motif: Sekar Jagad
Motif: Bledak Manuk

Motif: Parang

Motif: Gunungan

Motif: Ungker Cantel

Motif: Wahyu Tumurun Bledak
Motif: Kawung Buketan
Motif: Kawung Peksi Papua

BATIK BAKARAN WETAN

Berita Dari Kompas 21 April 2009



Bukhari, Mengembangkan Batik Bakaran
Rabu, 21 April 2009
Oleh HENDRIYO WIDI
Pada tahun 1975, batik bakaran nyaris hilang dari peredaran pasar tradisional. Pasalnya, Sutarsih yang berusia 86 tahun, satu-satunya generasi keempat pembatik bakaran, tak mampu lagi membatik. Namun, Bukhari, putra ke-12 Sutarsih, yang mewarisi kemampuan membatik, berusaha keras menjadikan batik bakaran kembali ”bermasa depan”. Bukhari Wiryo Satmoko, nama lengkap pria yang lahir di Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ini tidak sekadar mengembalikan batik bakaran di peredaran pasar tradisional, tetapi sampai ke pasar nasional dan internasional.
Dia memang akrab dengan batik. Sejak masih duduk di kelas III Sekolah Rakyat, Bukhari kerap dianggap suka ngrusuhi atau mengganggu ibunya yang sedang membatik.
Saat sang ibu beristirahat, Bukhari kecil mengambil canting dan melanjutkan motif batik di kain yang dikerjakan ibunya. Bukannya menjadi rangkaian batik yang indah, motif-motif karya Bukhari itu tidak berbentuk dan malam batiknya mblobor.
Kejadian itu terus berulang hingga sang ibu sering marah. Namun, dari waktu ke waktu sang ibu pun bisa melihat bahwa hasil lanjutan motif Bukhari semakin baik. Bahkan, Bukhari kerap menelurkan motif lain yang berbeda dengan pakem batik bakaran.
”Saya mulai jarang membatik bersama Ibu setelah duduk di Sekolah Teknik Juwana. Soalnya, lebih asyik mengutak-atik mesin ketimbang canting he-he,” kenangnya.
Kondisi itu berjalan hingga Bukhari duduk di STM 2 Semarang. Namun, baru dua bulan di sekolah itu, dia harus pulang ke rumah dan tak lagi melanjutkan sekolah. Ia harus menjaga ibunya yang sakit keras karena seorang kakak Bukhari meninggal tertimpa paku bumi.
Sang ibu tak memperkenankan Bukhari melanjutkan sekolah teknik karena takut kejadian serupa menimpa putra bungsunya itu. Peristiwa itulah yang kembali mendekatkan Bukhari dengan cinta pertamanya, batik.
Mengajari istri
Tahun 1975 ia menikah dengan Tini. Untuk menghidupi keluarga, Bukhari mengerjakan tambak. Ia mengajari istrinya membatik dan berharap Tini tak sekadar menjadi ibu rumah tangga, tetapi turut menopang ekonomi rumah tangga.
Pada tahun-tahun itu pula Desa Bakaran Wetan krisis generasi pembatik bakaran. Sejak sakit, ibunda Bukhari tak lagi membatik. Bukhari memanfaatkan situasi ”genting” itu dengan mengembangkan batik bersama istrinya.
”Semula saya memproduksi dua kain batik per bulan dan menjualnya di pasar tradisional. Waktu itu harganya masih murah, Rp 3.000-Rp 8.000 per lembar,” ujar Bukhari, generasi kelima pembatik bakaran.
Menurut dia, meski tak selaris saat Juwana menjadi pelabuhan besar pada zaman para kakek-buyut, masyarakat tetap meminati batik bakaran. Bahkan, sejumlah orang yang mengira batik bakaran sudah tak lagi diproduksi mengaku kaget bisa menemukannya.
”Mereka mendatangi rumah saya untuk memesan batik. Dari waktu ke waktu pesanan bertambah sehingga batik bakaran tenar kembali,” katanya.
Agar batik bakaran lebih dikenal luas, Bukhari memberi merek batiknya ”Tjokro”. Ia mengambil nama kakeknya, Turiman Tjokro Satmoko. Alasannya, pada era Tjokro, batik bakaran menjadi komoditas perdagangan di Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para pejabat Kawedanan Juwana.
Tenaga kerja
Lonjakan permintaan pasar pada era 1980-an itu menyebabkan Bukhari menambah tenaga kerja dari dua orang menjadi 20 pembatik. Tenaga pembatik itu berasal dari para ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya.
Menurut Bukhari, para ibu rumah tangga itu tak mempunyai pekerjaan tetap ketika ditinggal suaminya melaut, bertani, atau mburuh di kota-kota lain. Dengan membatik, mereka dapat menambah penghasilan keluarga Rp 15.000-Rp 30.000 per hari.
”Sebagian kecil di antara mereka sudah bisa membatik, sedangkan yang lain harus diajari lebih dulu,” kata penerima penghargaan Byasana Bhakti Upapradana dari Gubernur Jateng pada 1994 ini.
Pada tahun 1998 Bukhari terpaksa menutup usaha batik dan memberhentikan para pekerjanya. Industri rumah tangga batik yang dia kembangkan mulai dari nol itu terkena imbas krisis moneter.
Alasannya, saat itu harga bahan baku batik meningkat berlipat-lipat sehingga harga batik menjadi sangat tinggi. Hal Ini mengakibatkan batik bakaran tak laku, sepi pembeli.
”Usaha itu saya tutup selama dua tahun. Baru pada tahun ketiga saya mulai memproduksi batik lagi dalam skala kecil dibantu istri dan seorang pembatik,” katanya.
Tahun 2006 Bukhari mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Pati untuk melestarikan dan meningkatkan pemasaran batik bakaran. Pemkab Pati menerima usulan itu dengan menggalakkan program pemakaian batik bagi pegawai negeri sipil (PNS) pada hari-hari tertentu.
Program itu meningkatkan pemasaran batik bakaran di daerah Pati sekaligus juga di luar Pati. Melalui promosi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pati dan gethok tular para pembeli, batik bakaran kembali bangkit.
Bukhari bisa mempunyai tenaga kerja harian dan borongan sebanyak 52 orang. Mereka mampu memproduksi 400-600 lembar batik bakaran per bulan. Tak mengherankan jika omzet Bukhari mencapai Rp 40 juta–Rp 60 juta per bulan. Pemasaran batik produknya tak hanya di Pati, tetapi sampai ke Surabaya, Bandung, Jakarta, Rembang, Blora, Semarang, serta Kanada dan Amerika Serikat.
Melestarikan legenda
Sukses Bukhari melestarikan batik bakaran dan meningkatkan perekonomian warga sekitar berdampak pula pada kelestarian legenda tentang batik bakaran. Melalui legenda itu, tradisi manganan atau makan bersama terus berkembang dan menjadi salah satu sarana menjalin keguyuban warga.
Bukhari memaparkan, sejarah batik bakaran terkait erat dengan kisah Nyi Danowati atau Nyai Ageng Siti Sabirah, penjaga pusaka dan pengurus seragam Kerajaan Majapahit akhir abad ke-14. Ia datang ke Desa Bakaran untuk mencari tempat persembunyian karena dikejar-kejar prajurit Kerajaan Demak.
Dalam penyamarannya di Desa Bakaran, Nyi Danowati membuat langgar tanpa mihrab yang disebut Sigit, dan sampai kini menjadi pepunden, tempat warga menggelar tradisi manganan. Di halaman Sigit itulah Bukhari mengajar membatik kepada warga sekitar.
Menurut dia, motif batik Nyi Danowati yang masih berkembang hingga kini adalah motif sekar jagad, gandrung, padas gempal, magel ati, dan limaran. Motif-motif itu mirip dengan motif batik dari Jawa Timur.
Dahulu, pewarna batik motif itu menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya, kulit pohon tingi yang menghasilkan warna coklat, kayu tegoran untuk warna kuning, dan akar kudu sebagai pewarna sawo matang.
”Sayangnya, bahan-bahan itu sudah sulit didapat,” kata Bukhari.
Selain motif-motif bakaran kuno, Bukhari juga mengembangkan motif kontemporer berdasarkan kekhasan daerah dan tren yang dilihatnya berkembang di masyarakat. Misalnya, motif gelombang cinta, juwana, begisar, kembang rowo, peksi papua, pohon druju, dan jambu alas.

Rabu, 01 April 2009

Koleksi Foto

Penerimaan Upakarti Pelestari Budaya 2008 Mbah Tareman Tjokro Satmoko