Bukhari, Mengembangkan Batik Bakaran
Rabu, 21
April 2009
Oleh HENDRIYO
WIDI
Pada tahun 1975, batik bakaran nyaris hilang dari peredaran
pasar tradisional. Pasalnya, Sutarsih yang berusia 86 tahun,
satu-satunya generasi keempat pembatik bakaran, tak mampu lagi membatik.
Namun, Bukhari, putra ke-12 Sutarsih, yang mewarisi kemampuan membatik,
berusaha keras menjadikan batik bakaran kembali ”bermasa depan”.
Bukhari Wiryo Satmoko, nama lengkap pria yang lahir di Desa Bakaran
Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ini tidak sekadar
mengembalikan batik bakaran di peredaran pasar tradisional, tetapi
sampai ke pasar nasional dan internasional.
Dia memang akrab dengan batik. Sejak masih duduk di kelas III
Sekolah Rakyat, Bukhari kerap dianggap suka ngrusuhi atau mengganggu
ibunya yang sedang membatik.
Saat sang ibu
beristirahat, Bukhari kecil mengambil canting dan melanjutkan motif
batik di kain yang dikerjakan ibunya. Bukannya menjadi rangkaian batik
yang indah, motif-motif karya Bukhari itu tidak berbentuk dan malam
batiknya mblobor.
Kejadian itu
terus berulang hingga sang ibu sering marah. Namun, dari waktu ke waktu
sang ibu pun bisa melihat bahwa hasil lanjutan motif Bukhari semakin
baik. Bahkan, Bukhari kerap menelurkan motif lain yang berbeda dengan
pakem batik bakaran.
”Saya mulai
jarang membatik bersama Ibu setelah duduk di Sekolah Teknik Juwana.
Soalnya, lebih asyik mengutak-atik mesin ketimbang canting he-he,”
kenangnya.
Kondisi itu berjalan hingga
Bukhari duduk di STM 2 Semarang. Namun, baru dua bulan di sekolah itu,
dia harus pulang ke rumah dan tak lagi melanjutkan sekolah. Ia harus
menjaga ibunya yang sakit keras karena seorang kakak Bukhari meninggal
tertimpa paku bumi.
Sang ibu tak
memperkenankan Bukhari melanjutkan sekolah teknik karena takut kejadian
serupa menimpa putra bungsunya itu. Peristiwa
itulah yang kembali mendekatkan Bukhari dengan cinta pertamanya, batik.
Mengajari
istri
Tahun 1975 ia
menikah dengan Tini. Untuk menghidupi keluarga, Bukhari
mengerjakan tambak. Ia mengajari istrinya membatik dan berharap Tini tak
sekadar menjadi ibu rumah tangga, tetapi turut menopang ekonomi rumah
tangga.
Pada tahun-tahun itu pula Desa
Bakaran Wetan krisis generasi pembatik bakaran. Sejak sakit, ibunda
Bukhari tak lagi membatik. Bukhari memanfaatkan situasi ”genting” itu
dengan mengembangkan batik bersama istrinya.
”Semula saya memproduksi dua kain batik per bulan dan
menjualnya di pasar tradisional. Waktu itu harganya masih murah, Rp
3.000-Rp 8.000 per lembar,” ujar Bukhari, generasi kelima pembatik
bakaran.
Menurut dia, meski tak selaris
saat Juwana menjadi pelabuhan besar pada zaman para kakek-buyut,
masyarakat tetap meminati batik bakaran. Bahkan, sejumlah orang yang
mengira batik bakaran sudah tak lagi diproduksi mengaku kaget bisa
menemukannya.
”Mereka
mendatangi rumah saya untuk memesan batik. Dari waktu ke waktu pesanan
bertambah sehingga batik bakaran tenar kembali,” katanya.
Agar batik bakaran lebih dikenal luas, Bukhari
memberi merek batiknya ”Tjokro”. Ia mengambil nama kakeknya, Turiman
Tjokro Satmoko. Alasannya, pada era Tjokro, batik bakaran menjadi
komoditas perdagangan di Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para
pejabat Kawedanan Juwana.
Tenaga
kerja
Lonjakan
permintaan pasar pada era 1980-an itu menyebabkan Bukhari menambah
tenaga kerja dari dua orang menjadi 20 pembatik. Tenaga pembatik itu berasal dari para ibu rumah tangga di
sekitar tempat tinggalnya.
Menurut Bukhari, para ibu rumah
tangga itu tak mempunyai pekerjaan tetap ketika ditinggal suaminya
melaut, bertani, atau mburuh di kota-kota lain. Dengan membatik,
mereka dapat menambah penghasilan keluarga Rp 15.000-Rp 30.000 per hari.
”Sebagian kecil di antara mereka sudah bisa
membatik, sedangkan yang lain harus diajari lebih dulu,” kata penerima
penghargaan Byasana Bhakti Upapradana dari Gubernur Jateng pada 1994
ini.
Pada tahun 1998 Bukhari
terpaksa menutup usaha batik dan memberhentikan para pekerjanya.
Industri rumah tangga batik yang dia kembangkan mulai dari nol itu
terkena imbas krisis moneter.
Alasannya, saat
itu harga bahan baku
batik meningkat berlipat-lipat sehingga harga batik menjadi sangat
tinggi. Hal Ini mengakibatkan batik bakaran tak laku, sepi pembeli.
”Usaha itu saya tutup selama dua tahun. Baru
pada tahun ketiga saya mulai memproduksi batik lagi dalam skala kecil
dibantu istri dan seorang pembatik,” katanya.
Tahun 2006 Bukhari mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten
Pati untuk melestarikan dan meningkatkan pemasaran batik bakaran. Pemkab
Pati menerima usulan itu dengan menggalakkan program pemakaian batik
bagi pegawai negeri sipil (PNS) pada hari-hari tertentu.
Program itu meningkatkan pemasaran batik bakaran
di daerah Pati sekaligus juga di luar Pati. Melalui promosi Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pati dan gethok tular para
pembeli, batik bakaran kembali bangkit.
Bukhari bisa mempunyai tenaga kerja harian dan borongan
sebanyak 52 orang. Mereka mampu memproduksi 400-600 lembar batik bakaran
per bulan. Tak mengherankan jika omzet Bukhari mencapai Rp 40 juta–Rp
60 juta per bulan. Pemasaran batik produknya tak hanya di Pati, tetapi
sampai ke Surabaya, Bandung,
Jakarta, Rembang, Blora, Semarang, serta Kanada dan Amerika
Serikat.
Melestarikan legenda
Sukses Bukhari melestarikan batik bakaran
dan meningkatkan perekonomian warga sekitar berdampak pula pada
kelestarian legenda tentang batik bakaran. Melalui legenda itu, tradisi
manganan atau makan bersama terus berkembang dan menjadi salah satu
sarana menjalin keguyuban warga.
Bukhari
memaparkan, sejarah batik bakaran terkait erat dengan kisah Nyi Danowati
atau Nyai Ageng Siti Sabirah, penjaga pusaka dan pengurus seragam
Kerajaan Majapahit akhir abad ke-14. Ia datang ke Desa Bakaran untuk
mencari tempat persembunyian karena dikejar-kejar prajurit Kerajaan
Demak.
Dalam penyamarannya di Desa
Bakaran, Nyi Danowati membuat langgar tanpa mihrab yang disebut Sigit,
dan sampai kini menjadi pepunden, tempat warga menggelar tradisi
manganan. Di halaman Sigit itulah Bukhari mengajar membatik kepada warga
sekitar.
Menurut dia, motif batik Nyi
Danowati yang masih berkembang hingga kini adalah motif sekar jagad,
gandrung, padas gempal, magel ati, dan limaran. Motif-motif itu mirip
dengan motif batik dari Jawa Timur.
Dahulu,
pewarna batik motif itu menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya, kulit
pohon tingi yang menghasilkan warna coklat, kayu tegoran untuk warna
kuning, dan akar kudu sebagai pewarna sawo matang.
”Sayangnya, bahan-bahan itu sudah sulit didapat,”
kata Bukhari.
Selain
motif-motif bakaran kuno, Bukhari juga mengembangkan motif kontemporer
berdasarkan kekhasan daerah dan tren yang dilihatnya berkembang di
masyarakat. Misalnya, motif gelombang cinta, juwana, begisar, kembang
rowo, peksi papua, pohon druju, dan jambu alas.