Selasa, 17 Mei 2011

Perkembangan Beberapa Pendekatan Manajemen Kinerja
Manajemen kinerja adalah suatu proses yang dirangcang untuk meningkatkan kinerja organisasi, kelompok dan individu yang digerakkan oleh para manajer. Pada dasarnya manajemen kinerja adalah suatu proses yang dilaksanakan secara sinergi antara manajer, individu atau kelompok terhadap suatu pekerjaan di dalam organisasi.
Manajemen kinerja didasarkan kepada kesepakatan tentang sasaran, persyaratan pengetahuan, keahlian, kompetensi, rencana kerja dan pengembangan. Dengan demikian menejemn kinerja mencakup kajian ulang terhadap kinerja secara berkesinambungan dan dilakukan secara bersama berdasarkan kesepakatan mengenai sasaran, persyaratan pengetahuan, keahlian, kompetensi, rencana kerja dan pengembangan, serta pengimplementasian rencana peningkatan dan pengembangan lebih lanjut. Secara khusus manajemen kinerja ditujukan untuk meningkatkan aspek-aspek kinerja yang meliputi: (1)Sasaran yang dicapai,(2) kompetensi yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap (3)Efektivitas kerja.
Konsep manajemen kinerja merupakan salah satu perkembangan yang penting dalam lingkup manajemen. Manajemen mulai terlihat bentuknya pada akhir tahun 1980-an, berkembang dari kesadaran diperlukannya suatu pendekatan yang lebih berkesinambungan terpadu untuk mengelola dan memberikan imbalan bagi kinerja. Manajemen kinerja telah bangkit dari sistem penilaian "merit rating" dan "management-by-objectives (MBO)" yang telah lama ada. Banyak di antara perkembangan terbaru dalam penilaian kinerja (performance appraisal) telah di serap ke dalam konsep manajemen kinerja, yang dijadikan suatu proses manajemen yang lebih luas, lebih lengkap dan lebih alami.
1. “Merit-rating” Sebagai Teknik Evaluasi
Evaluasi dengan merit-arting menuntut para manajer menilai pegawainya berdasarkan berbagi faktor ataupun karateristik pekerjaan atau kepribadian secara objektif. faktor-faktor pekerjaan meliputi elemen-elemen seperti pengetahuan akan tugas pekerjaan yang dihadapi, output yang efektif, pengambilan keputusan dan akurasi kerja. Karakteristik kepribadian dapat mencakup aspek-aspek seperti percaya diri, sikap, perilaku, inisiatif dan konsistensi. System tersebut menuntut para manajer untuk memberikan penilaian kepada staf mereka untuk tiap faktor dalam suatu skala angka 1 sampai 5. Skala tersebut akan didefinisikan dengan suatu deskripsi singkat yang diberikan terhadap level yang berbeda. Misalnya dalam memberikan rating terhadap output yang efektif dalam suatu tata cara penentuan penilaian yang biasa dipakai seorang manajer diminta untuk memilih diantara :
a. Sangat memuaskan – output yang sangat memuaskan dari pekerjaan yang berkualitas tinggi.
b. Memuaskan – tingkat output dan upaya yang memuaskan.
c. Cukup – menyelesaikan dari jumlah pekerjaan efektiv rata-rata.
d. Kurang – output rendah dan pekerjaan yang buruk.
Definisi semacam itu sendiri tidak terlalu membantu karena mereka cenderung mengeneralisasi dan gagal untuk menetapkan standar yang sesungguhnya dapat dipakai untuk membuat suatu penilaian. Satu-satunya alasan mengapa sistem ini masih bertahan adalah karena sistem ini memuaskan hati orang yang tak begitu senang jika mereka tidak dapat mengukur sesuatu, bahkan penilaian terhadap karakteristik kepribadian yang sudah pasti tidak dapat diukur.
Umumnya para manajer juga tidak menyukai system penilaian semacam ini karena alasan-alasan berikut ini :
• Ketidak percayaan akan validitas sistem itu sendiri.
• Tidak suka mengkritik bawahan secara langsung.
• Ketidak mampuan untuk menangani evaluasi dan wawancara.
• Ketidak sukaan akan suatu prosedur yang baru.
Namun demikian banyak organisasi yang terpaksa menggunakan sistem ini karena sistem penilaian harus diterapkan dalam organisasi, Kemudian penilaian ini hanya diperlakukan sebagai suatu hal yang rutin saja. Menurut McGregor penekanannya harusnya bergeser dari penilaian ke analisis: “Ini mengacu pada suatu pendekatan yang lebih positif.bawahan tidak lagi diteliti oleh atasannya agar kelemahan-kelemahannya dapat ditentukan, tetapi lebih banyak dia meneliti dirinya sendiri untuk dapat menentukan bukan hanya kelemahan-kelemahannya sendiri tetapi juga kekuatan-kekuatan dan potensi-potensi, ia menjadi pelaku yang aktif, bukan suatu objek yang pasif. Ia bukan lagi seorang bidak dalam sebuah permainan catur yang dinamakan pengembangan manajemen”.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran kinerja ini juga diteliti di beberapa organisasi di Negara maju yang menemukan bahwa evaluasi kinerja tradisional cenderung memberikan rating secara subjektif terhadap kepribadian seseorang. Penilaian ini membuktikan bahwa para manajer tidak menyukai pemakaian sistem ini dan penggunaannya kurang efektif. Ia mencatat bahwa para penilai diminta untuk memberikan rating kepada karyawan mencakup kebijaksanaan, kesediaan, antusiasme, kedewasaan dan memberikan komentarnya..
Meskipun sistem penilaian menggunakan teknik ini banyak dikritik, namun banyak organisasi yang menggunakannya karena teknik dipandang lebih sederhana dan dapat diterapkan diseluruh unit-unit yang ada dilingkungan organisasi karena dimensi-dimensi yang dinilai menyangkut perilaku yang umum.
2. Manajemen Berorientasi Sasaran (MBO)
Menurut Schermerhorn. R. John, et.al (1995), esensi MBO adalah proses penetapan sasaran (Goal Setting) bersama antara atasan dan bawahan. Melalui penetapan sasaran, para manajer bekerjasama dengan bawahan untuk menetapkan sasaran dan rencana kinerja yang konsisten dengan tingkat pekerjaan dan sasaran organisasi.
Gambar 1. Proses Manajement berdasarkan Sasaran (MBO)








Gambar tersebut menunjukkan kerjasama antara atasan dan bawahan dalam menetapkan sasaran yang akan dicapai dan melalui kebersamaan ini pada gilirannya dapat digunakan untuk penetapan sasaran evaluasi kinerja melalui pendekatan yang partisifatif.



Menurut John Humble (1970) definisi dari manajemen MBO adalah “suatu sistem yang dinamis, bertujuan mengintegrasikan kebutuhan perusahaan untuk menjelaskan dan mencapai target keuntungan serta perkembangannya sesuai dengan kebutuhan manajer untuk memberikan kontribusinya dan mengembangkan dirinya sendiri. ini merupakan tuntutan gaya mengelola bisnis yang perlu dihargai”
Selanjutnya Drucker (1955) yang menyatakan “Manajemen yang efektif harus mengarahkan visi dan upaya semua manajernya kepada sasaran bersama. Ia harus memastikan bahwa tiap manajer memahami hasil apa yang diharapkan dari dirinya. Ia harus memastikan bahwa atasan memahami apa yang dapat diharapkan dari setiap bawahannya. Ia harus dapat memotivasi manajer untuk memaksimalkan upayanya ke arah yang benar. Sementara mendorong tumbuhnya standar kerja yang tinggi, ia juga harus dapat menjadikan hal itu sebagai cara untuk mencapai peningkatan kinerja organisasi daripada kinerja individu”
Kontribusi McGregor (1960) datang dari konsep Teori Y dan Teori X-nya, yang mengatakan bahwa "prinsip pokok yang dikembangkan dari teori Y adalah integrasi: penciptaan kondisi dimana para anggota organisasi dapat mencapai sasaran mereka sebaik mungkin dengan mengarahkan segala upaya ke arah keberhasilan organisasi".
McGregor menekankan,bahwa tujuannya harus mencapai manajemen berdasarkan integrasi dan pengendalian diri. Ia mengkritik beberapai interpretasi dari manajemen berdasarkan saran, yang hanya membawa ke arah tidak lebih dari serangkaian taktik-taktik baru dalam lingkup sebuah strategi dari strategi berdasarkan pengarahan dan pengendalian. Ia juga menekankan bahwa konsepnya mengenai manajemen berdasarkan integrasi dan pengendalian diri sendiri adalah sebuah strategi-suatu cara untuk mengelola manusia, taktiknya dikembangkan berdasarkan kebutuhan manusia. Prosedur yang terstandarisasikan adalah cara yang paling pasti untuk mencegah pengembangan manajemen berdasarkan integrasi dan pengendalian diri. Kontribusi yang signifikan dari Douglas McGregor belum diakui sebagaimana mestinya dan banyak penulis serta konsultan manajemen yang mendaur ulang filsafat ini dan bersikap seolah-olah nereka menciptakan suatu inovasi baru yang besar dalam pemikiran manajemen.
Manajemen berdasarkan sasaran merupakan proses umpan balik yang memerlukan definisi sasaran organisasi yang akan dijabarkan kedalam sasaran bagi masing-masing unit kerja. Tahap berikutnya adalah pembicaraan dan kesepakatan bersama antara bidang-bidang hasil terpenting, sasaran serta rencana tindakan oleh masing-masing manajer secara individu. Hal ini diikuti dengan mengevaluasi ulang hasil yang dicapai oleh masing-masing manajer diumpan balikkan kembali untuk perbaikan masing-masing sasaran dan rencana dari masing-masing individu, unit dan organisasi. Proses ini diilustrasikan pada Gambar 2. (Amstrong, 1994).
Gambar 2. Proses manajemen berdasarkan sasaran



Perlu perbaikan






Perlu perbaikan




Akan tetapi pada akhir tahun 70-an, manajemen berdasarkan sasaran sebagai suatu sistem secara meluas dianggap sebagai suatu sistem yang kurang baik. Seperti komentar dari Robert Schaffer dalam sebuah artikel klasik dari Harvard Business Review (1991) ”Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa program MBO seringkali menghasilkan benteng-benteng tumpukan surat-menyurat yang dipergunakan oeh para manajer untuk berlindung dari keharusan membuat tuntutan. Pada program MBO, sementara daftar sasaran menjadi semakin banyak dan dokumennya menjadi semakin tebal, fokusnya menjadi kian memudar”.
Manajemen berdasarkan sasaran cenderung untuk gagal, bukan hanya karena sifatnya yang birokratis dan sentralistik, tetapi juga karena sistem ini terlalu menekankan kepada sasaran serta output yang dapat dihitung secara kuantitatif, serta sangat sedikit ataupun bahkan sama sekali tidak memperhatikan faktor-faktor kualitatif serta aspek perilaku dari kinerja. Alasan yang lebih lanjut dari kegagalan ini adalah manajemen berdasaran sasaran ini seringkali lebih banyak bersifat proses dari atas ke bawah dengan kurang terjadi dialog antara para manajer dan karyawan yang bertanggungung jawab kepada mereka.
3. Evaluasi Kinerja (Performance Appraisal)
Evaluasi kinerja merupakan sistem formal yang di gunakan untuk mengevaluasi kinerja pegawai secara periodik yang ditentukan oleh organisasi. Evaluasi kerja mempunyai tujuan antara lain:
a. Pengembangan
b. Pemberian Reward
c. Motivasi
d. Perencanaan SDM
e. Kompensasi
f. Komunikasi
Sistem evaluasi kinerja sebagaimana yang dikembangkan sejak tahun 70-an menyertakan beberapa ciri manajemen berdsarkan sasaran yang diistilahkan sebagai “result-operated scheme”.
Pada beberapa hal dimasukkan juga fakto-faktor output (hasil) selain faktor input yang berhubungan dengan perilaku. Hal ini termasuk di Amerika Serikat, termasuk pengembangan metode “Behaviorally Anchored Rating Scale” yang menuntut diidentifikasikannya aspek tanggung jawab suatu pekerjaan atau kelompok pekerjaan. Ada juga yang dibuat dengan menggunaka metode “Critical Inciden Technique” yaitu sebagai suatu metode untuk mendefinisikan pekerjaan berdasarkan perilaku suatu jabatan. Metode ini meminta para manajer yang familiar dengan suatu pekerjaan tertentu untuk mencatat insiden-insiden penting dari perilaku kerja yang dianggap berhasil dan kurang berhasil.
Sistem evaluasi kinerja ini telah cenderung untuk menjadi campuran yang kurang tepat antara penetapan sasaran dan proses rating. Sistem ini seringkali merupakan sesuatu yang dipaksakan sebagai suatu bagian dari sistem birokratis kepada para manajer lini yang kemudian melaksakannya dibawah tekanan sehingga pelaksanaannya kurang efektif
Istilah "appraisal" ini mengandung pengertian bahwa suatu proses dari "top-down" dimana para manajer memberitahukan kepada stafnya bagaimana pandangannya tentang staf meraka. Dan salah satu penyebab dari gagalnya sistem evaluasi kinerja bahwa manajer tidak suka melakukannya - mereka keberatan, dalam istilahnya McGregor, untuk 'Playing at being God'.
4. Manajemen Kinerja
Manajemen kinerja di definisikan oleh Bacal (1999) sebagai proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan atasan langsungnya.
Manajemen kinerja bertujuan untuk membangun harapan yang jelas dan pemahaman tentang:
a. Fungsi kerja esensial yang diharapkan dari para karyawan.
b. Seberapa besar kontribusi pekerjaan karyawan bagi pencapaian tujuan organisasi.
c. Apa arti konkretnya “melakukan pekerjaan dengan lebih baik”.
d. Bagaimana karyawan dan penyelianya bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja karyawan yang sudah ada sekarang.
e. Bagaimana prestasi kerja akan diukur.
f. Mengenali beberapa hambatan kinerja dan menyingkirkannya.
Selanjutnya Noe, dkk (1999) menyebutkan 3 tujuan manajemen kinerja yaitu:
a. Tujuan Stratejik
Manajemen kinerja harus mengaitkan kegiatan pegawai dengan tujuan organisasi.
b. Tujuan Administratif
Kebanyakan organisasi menggunakan evaluasi kinerja untuk kepentingan keputusan administratif seperti pengajian, promosi, pemberhentian pegawai,Dll.
c. Tujuan Pengembangan
Manajemen kinerja bertujuan mengembangkan kapasitas pegawai yang berhasil di bidang kerjanya.

Sistem manajemen kinerja muncul pada akhir tahun 80-an sebagai suatu reaksi terhadap aspek negatif atas penentuan nilai berdasarkan merit rating, manajemen berdasarkan sasaran dan penilaian kinerja sebagaimana yang diuraikan sebelumnya. Perkembangan manajemen kinerja dipercepat oleh faktor-faktor diantaranya adalah (Amstrong, 1994):
 Munculnya manajemen sumber daya manusia sebagai suatu pendekatan yang strategis dan terpadu terhadap pengelolaan dan pengembangan SDM yang bertanggung jawab atas manajemen lini.
 Perlunya menemukan suatu pendekatan yang strategis namun fleksibel dalam mengelola suatu organisasi perusahaan.
 Kesadaran akan kenyataan bahwa kinerja hanya dapat diukur dan dinilai atas dasar suatu model input-proses-output-outcome, dan terlalu konsentrasi terhadap salah satu dari aspek kinerja tersebut dapat mengurangi efek dari keseluruhan sistem.
 Perhatian yang diberikan kepada konsep perbaikan dan pengembangan yang berkelanjutan, dan “Learning Organization” (organiasi pembelajaran).
 Kesadaran bahwa proses mengelola kinerja adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh para manajemen lini disepanjang tahun – bukannya peristiwa tahunan yang diatur oleh departemen personalia.
Manajemen kinerja paling tidak menyertakan bagian dari falsafah manajemen berdasarkan sasaran yang menekankan pentingnya penentuan sasaran dan melakukan evaluasi kinerja sesuai sasaran yang telah disepakati. Namun demikian ada beberapa perbedaan yang cukup penting. Manajemen kinerja yang paling berkembang dapat disimpulkan anatara lain sebagai berikut:
• Dipandang sebagai suatu pengintegrasian proses sasaran organisasi, fungsi, kelompok dan tujuan
• Diperlakukan sebagai suatu proses manajemen yang normal
• Menyangkut semua anggota organisasi sebagai mitra dalam proses tersebut.
• Didasarkan kepada kesepakatan mengenai akuntabilitas, harapan krja dan rencana pengembangan
• Menyangkut kinerja tim.
• Mengukur dan mengevaluasi kinerja dengan mengacu kepada faktor-faktor input/proses dan faktor-faktor output.
• Sebagai suatu proses yang berkesinambungan.
• Memperlakukan evluasi kinerja sebagai suatu proses bersama yang menekankan kepada pandangan yang membangun ke masa depan.
• Difokuskan kepada meningkatkan kinerja, mengembangkan kompetensi dan memanfaatkan potensi.
• Dapat memberikan dasar bagi keputusan untuk penentuan gaji/upah berdasarkan kinerja kalau sistem itu dipergunakan.
• Tidak mengandalkan kepada formulir-formulir dan prosedur yang rumit.
• Perlunya pelatihan agar memiliki keahlian yang diperlukan untuk menentukan kesepakatan, mengevaluasi kinerja dan membimbing serta memberikan konseling kepada para karyawan.
• Secara keseluruhan, lebih mementingkan proses menentukan sasaran, mengelola kinerja sepanjang tahun dan membantu serta mengevaluasi hasil ketimbang dari apa yang seringkali disebut sebagai 'sistem manajemen kinerja' yang implikasinya adalah seperangkat mekanisme agar orang mengerjakan sesuatu dengan cara tertentu.
Terdapat variasi yang luas diantara berbagai pendekatan dalam manajemen kinerja. Ada yang mengatakan sistem manajemen kinerja tidak lebih dari sekedar penentuan nilai berdasarkan jasa “merit rating”, manajemen berdasarkan sasaran atau cara-cara penilaian kinerja tradisional. Ada juga yang mengatakan dan menggunakan sistem ini sebagi dasar bagi suatu sistem penentuan gaji/upah berdasarkan kinerja dan berdasarkan pra-anggapan bahwa gaji/upah adalah motivator yang terbaik, walaupun gaji upah bukan satu-satunya yang menentukan kinerja.
Diakui bahwa pendekatan ini tidak selalu mudah, ini bisa berarti suatu perubahan budaya yang cukup berarti dan diperlukan keahlian baru dikalangan para manajer serta karyawan secara umum. Tetapi ia tidak memerlikan formulir yang rumit, prosedur dan catatan sebagai paduan, dan apabila sikap serta keahlian yang tepat dapat dikembangkan, manajemen kinerja dapat menjadi suatu proses manajemen yang sederhana dan alami.

1 komentar: