Selasa, 14 Juni 2011

BATIK BAKARAN WETAN

AYOOO . . . .!!
Buruan beli batik yang asli dalam negEri ,,,,,,,
Cintai Produk dalam NegEri . . . .

Senin, 13 Juni 2011

Proses pembuatan batik bakaran

Batik Tulis merupakan batik yang spesial dan mahal dibanding jenis batik yang lain, karena didalam pembuatan batik ini sangat diperlukan keahlian serta pengalaman, ketelitian, kesabaran, ketekunan, ketelatenan dan juga waktu yang lama untuk menyelesaikan sebuah batik tulis. Untuk sebuah batik tulis paling cepat dapat diselesaikan selama dua sampai tiga minggu oleh seorang pembatik, itupun dikarenakan cuaca yang cerah dan desain motif yang biasa dan juga tidak terlalu rumit.
Berikut ini adalah alat dan bahan yang harus disiapkan untuk membuat batik tulis :
1. Kain Mori
Biasa terbuat dari katun atau sutra yang mempunyai warna dasar putih.
2. Canting sebagai alat pembentuk motif
Terbuat dari tembaga yang dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat menampung lilin dan di ujung belakangnya disambung dengan sebuah bambu kecil yang digunakan sebagai pegangan sehingga canting dapat digunakan untuk melukis pada sebuah kain mori.
3. Gawangan dan Bandul
Gawangan terbuat dari bambu atau kayu yang diujung kiri dan kanannya dikasih kaki dari bahan bambu/kayu juga sehingga membentuk sebuah gawang yang berfungsi untuk menyampirkan kain mori tatkala mau dilukis dengan canting dan fungsi bandul disini untuk memberi pemberat supaya kain tidak terbang ketika terkena angin.
4. Lilin atau Malam
Lilin adalah malam yang dicairkan yang digunakan untuk melukis pada sebuah kain mori yang bertujuan untuk menutup kain mori sesuai motif yang diinginkan agar tidak terkena pewarna pada saat kain mori diwarnai sehingga kain yang tertutup lilin akan membentuk motif yang diinginkan pada saat lilin dihilangkan..
5. Panci dan kompor kecil untuk memanaskan lilin (malam)
Panci biasanya terbuat dari bahan aluminium dan kompor kecil berbahan bakar minyak tanah, karena minyak tanah sekarang langka bisa diganti kompor LPG kecil atau kalau mau kembali ke masa lalu memakai kayu bakar.
6. Larutan pewarna
Larutan pewarna bisa berasal dari sintetis atau alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Adapun tahapan-tahapan dalam proses pembutan batik tulis adalah sebagai berikut :
1. Langkah pertama adalah membuat desain atau motif batik yang biasa disebut “molani”. Dalam penentuan motif, biasanya tiap orang memiliki selera berbeda-beda. Ada yang lebih suka untuk membuat motif sendiri, namun yang lain lebih memilih untuk mengikuti motif-motif umum yang telah ada. Motif yang kerap dipakai di Indonesia sendiri adalah batik yang terbagi menjadi 2 : batik klasik, yang banyak bermain dengan simbol-simbol, dan batik pesisiran dengan ciri khas natural seperti gambar bunga, burung dan kupu-kupu. Membuat design atau motif ini dapat menggunakan pensil atau menggunakan kertas yang sudah ada gambar polanya kemudian ditempel dengan kain mori dan caranya diterawang untuk melakukan proses selanjutnya.
2. Setelah selesai melakukan molani, langkah kedua adalah melukis dengan lilin (malam) menggunakan canting dengan mengikuti pola tersebut, pada proses ini gawangan dipakai untuk menyampirkan kain mori yang sedang dilukis menggunakan canting, proses ini biasa disebut “ngengkreng” yang artinya melukis lilin ke kain untuk yang pertama kalinya.
3. Proses selanjutnya mengisi motif atau ornamen-ornamen yang telah dibuat pada proses sebelumnya, proses ini biasa disebut “isen-isen”,isen-isen dapat dibedakan dua jenis yaitu “cecek” dan “sawut”, yang dimaksud cecek adalah titik-titik kecil yang membentuk sebuah ornamen dan sawut adalah garis yang diulang-ulang untuk menutup sebuah ornamen yang nantinya akan diwarna sogan (coklat gosong).
4. Tahap selanjutnya, menutupi dengan lilin (malam) pada bagian-bagian yang akan tetap berwarna putih (tidak berwarna), proses ini biasa disebut “nembok”. Canting untuk bagian halus, atau kuas untuk bagian berukuran besar (penggunaan kuas untuk mempercepat proses). Tujuannya adalah supaya saat pencelupan bahan kedalam larutan pewarna, bagian yang diberi lapisan lilin tidak terkena.
5. Tahap berikutnya adalah proses “medhel”, proses ini adalah pewarnaan pertama pada bagian yang tidak tertutup oleh lilin dengan mencelupkan kain tersebut pada warna biru tua.
6. Setelah selesai dicelupkan, kain tersebut di jemur dan dikeringkan (pengeringan cukup diangin-anginkan di tempat yang teduh tidak terkena sinar matahari langsung).
7. Setelah proses diatas selesai kemudian dilakukan proses “ngerok” dan “ngremok”, yang dimaksud ngerok adalah proses pengerokan pada ornamen sawut yang nantinya dilakukan pewarnaan sogan dengan menggunakan pisau atau benda logam yang ujungnya tipis dan agak tajam, kemudian dilanjutkan proses ngremok yaitu mengucek atau mencuci bagian yang telah dikerok agar bersih dari lilin.
8. Setelah kering, kembali melakukan proses pembatikan yaitu melukis dengan lilin (malam) menggunakan canting untuk menutup bagian ornamen cecek dan ornamen lain yang akan tetap dipertahankan pada pewarnaan yang pertama, proses ini biasa disebut “mbironi” yang artinya menutup untuk mempertahankan warna biru.
9. Setelah selesai proses mbironi kemudian dilanjutkan dengan proses “nyoga”pada proses ini dilakukan pencelupan warna sogan yaitu warna coklat tua atau coklat gosong, pada proses ini ornamen sawut dan ornamen yang tidak ditutup dengan lilin yang akan berwarna sogan.
10. Proses berikutnya, menghilangkan lilin (malam) dari kain tersebut dengan cara mencelupkan kain tersebut berulang kali ke dalam air panas diatas tungku sampai lilin benar-benar bersih tidak menempel pada kain, proses ini biasa disebut “nglorot” yang artinya meluruhkan atau menghilangkan lilin dari kain.
11. Setelah kain bersih dari lilin dan kering, dapat dilakukan kembali proses pembatikan dengan penutupan lilin (menggunakan alat canting)untuk menahan warna pertama dan kedua, apabila diinginkan penambahan warna sesuai kombinasi warna yang dibutuhkan. Proses membuka dan menutup lilin (malam) dapat dilakukan berulangkali sesuai dengan banyaknya warna dan kompleksitas motif yang diinginkan.
12. Proses selanjutnya atau proses terakhir adalah “nglorot” kembali, tujuannya adalah untuk menghilangkan lapisan lilin, sehingga motif yang telah digambar sebelumnya terlihat jelas. Proses terakhir adalah mencuci kain batik tersebut dan kemudian mengeringkannya dengan menjemurnya sebelum dapat digunakan dan dipakai.

motif batik bakaran wetan















Motif : Lung Kupu (Tulis)














Motif: Simetris (Proses Cap Lilin)














Motif: Bledak Kepiting














Motif: Bunga (Proses Cap Lilin)














Motif: Bledak (Aplikasi Gendongan)














Motif: Irengan

Motif : Udan Mas

Motif : Sampek Intai

Motif : Kembang Bakung

Motif : Manuk Glatik

Motif : Kembang Mlati

Motif : Kembang Matahari

Motif : Njuono

Motif : Cucak Rowo

Motif-Motif Klasik

Motif : Limaran
Motif : Bregat Ireng
Motif : Manggaran
Motif : Gandrung
Motif : Kedele Kecer
Motif : Sido Mukti
Motif : Nogo Rodjo
Motif : Magel Ati
Motif : Rawan
Motif : Limaran Gandrung (Aplikasi Baju)
Motif : Udan Liris
Motif : Parang (Aplikasi Sarung)
Motif : Sarung Parang
Motif : Sarung Ukel
Motif : Kedele Kecer (Aplikasi Sarung)
Motif: Bledak Kopik

Motif: Wahyu Tumurun
Motif: Sekar Jagad
Motif: Bledak Manuk

Motif: Parang

Motif: Gunungan

Motif: Ungker Cantel

Motif: Wahyu Tumurun Bledak
Motif: Kawung Buketan
Motif: Kawung Peksi Papua

BATIK BAKARAN WETAN

Berita Dari Kompas 21 April 2009



Bukhari, Mengembangkan Batik Bakaran
Rabu, 21 April 2009
Oleh HENDRIYO WIDI
Pada tahun 1975, batik bakaran nyaris hilang dari peredaran pasar tradisional. Pasalnya, Sutarsih yang berusia 86 tahun, satu-satunya generasi keempat pembatik bakaran, tak mampu lagi membatik. Namun, Bukhari, putra ke-12 Sutarsih, yang mewarisi kemampuan membatik, berusaha keras menjadikan batik bakaran kembali ”bermasa depan”. Bukhari Wiryo Satmoko, nama lengkap pria yang lahir di Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ini tidak sekadar mengembalikan batik bakaran di peredaran pasar tradisional, tetapi sampai ke pasar nasional dan internasional.
Dia memang akrab dengan batik. Sejak masih duduk di kelas III Sekolah Rakyat, Bukhari kerap dianggap suka ngrusuhi atau mengganggu ibunya yang sedang membatik.
Saat sang ibu beristirahat, Bukhari kecil mengambil canting dan melanjutkan motif batik di kain yang dikerjakan ibunya. Bukannya menjadi rangkaian batik yang indah, motif-motif karya Bukhari itu tidak berbentuk dan malam batiknya mblobor.
Kejadian itu terus berulang hingga sang ibu sering marah. Namun, dari waktu ke waktu sang ibu pun bisa melihat bahwa hasil lanjutan motif Bukhari semakin baik. Bahkan, Bukhari kerap menelurkan motif lain yang berbeda dengan pakem batik bakaran.
”Saya mulai jarang membatik bersama Ibu setelah duduk di Sekolah Teknik Juwana. Soalnya, lebih asyik mengutak-atik mesin ketimbang canting he-he,” kenangnya.
Kondisi itu berjalan hingga Bukhari duduk di STM 2 Semarang. Namun, baru dua bulan di sekolah itu, dia harus pulang ke rumah dan tak lagi melanjutkan sekolah. Ia harus menjaga ibunya yang sakit keras karena seorang kakak Bukhari meninggal tertimpa paku bumi.
Sang ibu tak memperkenankan Bukhari melanjutkan sekolah teknik karena takut kejadian serupa menimpa putra bungsunya itu. Peristiwa itulah yang kembali mendekatkan Bukhari dengan cinta pertamanya, batik.
Mengajari istri
Tahun 1975 ia menikah dengan Tini. Untuk menghidupi keluarga, Bukhari mengerjakan tambak. Ia mengajari istrinya membatik dan berharap Tini tak sekadar menjadi ibu rumah tangga, tetapi turut menopang ekonomi rumah tangga.
Pada tahun-tahun itu pula Desa Bakaran Wetan krisis generasi pembatik bakaran. Sejak sakit, ibunda Bukhari tak lagi membatik. Bukhari memanfaatkan situasi ”genting” itu dengan mengembangkan batik bersama istrinya.
”Semula saya memproduksi dua kain batik per bulan dan menjualnya di pasar tradisional. Waktu itu harganya masih murah, Rp 3.000-Rp 8.000 per lembar,” ujar Bukhari, generasi kelima pembatik bakaran.
Menurut dia, meski tak selaris saat Juwana menjadi pelabuhan besar pada zaman para kakek-buyut, masyarakat tetap meminati batik bakaran. Bahkan, sejumlah orang yang mengira batik bakaran sudah tak lagi diproduksi mengaku kaget bisa menemukannya.
”Mereka mendatangi rumah saya untuk memesan batik. Dari waktu ke waktu pesanan bertambah sehingga batik bakaran tenar kembali,” katanya.
Agar batik bakaran lebih dikenal luas, Bukhari memberi merek batiknya ”Tjokro”. Ia mengambil nama kakeknya, Turiman Tjokro Satmoko. Alasannya, pada era Tjokro, batik bakaran menjadi komoditas perdagangan di Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para pejabat Kawedanan Juwana.
Tenaga kerja
Lonjakan permintaan pasar pada era 1980-an itu menyebabkan Bukhari menambah tenaga kerja dari dua orang menjadi 20 pembatik. Tenaga pembatik itu berasal dari para ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya.
Menurut Bukhari, para ibu rumah tangga itu tak mempunyai pekerjaan tetap ketika ditinggal suaminya melaut, bertani, atau mburuh di kota-kota lain. Dengan membatik, mereka dapat menambah penghasilan keluarga Rp 15.000-Rp 30.000 per hari.
”Sebagian kecil di antara mereka sudah bisa membatik, sedangkan yang lain harus diajari lebih dulu,” kata penerima penghargaan Byasana Bhakti Upapradana dari Gubernur Jateng pada 1994 ini.
Pada tahun 1998 Bukhari terpaksa menutup usaha batik dan memberhentikan para pekerjanya. Industri rumah tangga batik yang dia kembangkan mulai dari nol itu terkena imbas krisis moneter.
Alasannya, saat itu harga bahan baku batik meningkat berlipat-lipat sehingga harga batik menjadi sangat tinggi. Hal Ini mengakibatkan batik bakaran tak laku, sepi pembeli.
”Usaha itu saya tutup selama dua tahun. Baru pada tahun ketiga saya mulai memproduksi batik lagi dalam skala kecil dibantu istri dan seorang pembatik,” katanya.
Tahun 2006 Bukhari mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Pati untuk melestarikan dan meningkatkan pemasaran batik bakaran. Pemkab Pati menerima usulan itu dengan menggalakkan program pemakaian batik bagi pegawai negeri sipil (PNS) pada hari-hari tertentu.
Program itu meningkatkan pemasaran batik bakaran di daerah Pati sekaligus juga di luar Pati. Melalui promosi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pati dan gethok tular para pembeli, batik bakaran kembali bangkit.
Bukhari bisa mempunyai tenaga kerja harian dan borongan sebanyak 52 orang. Mereka mampu memproduksi 400-600 lembar batik bakaran per bulan. Tak mengherankan jika omzet Bukhari mencapai Rp 40 juta–Rp 60 juta per bulan. Pemasaran batik produknya tak hanya di Pati, tetapi sampai ke Surabaya, Bandung, Jakarta, Rembang, Blora, Semarang, serta Kanada dan Amerika Serikat.
Melestarikan legenda
Sukses Bukhari melestarikan batik bakaran dan meningkatkan perekonomian warga sekitar berdampak pula pada kelestarian legenda tentang batik bakaran. Melalui legenda itu, tradisi manganan atau makan bersama terus berkembang dan menjadi salah satu sarana menjalin keguyuban warga.
Bukhari memaparkan, sejarah batik bakaran terkait erat dengan kisah Nyi Danowati atau Nyai Ageng Siti Sabirah, penjaga pusaka dan pengurus seragam Kerajaan Majapahit akhir abad ke-14. Ia datang ke Desa Bakaran untuk mencari tempat persembunyian karena dikejar-kejar prajurit Kerajaan Demak.
Dalam penyamarannya di Desa Bakaran, Nyi Danowati membuat langgar tanpa mihrab yang disebut Sigit, dan sampai kini menjadi pepunden, tempat warga menggelar tradisi manganan. Di halaman Sigit itulah Bukhari mengajar membatik kepada warga sekitar.
Menurut dia, motif batik Nyi Danowati yang masih berkembang hingga kini adalah motif sekar jagad, gandrung, padas gempal, magel ati, dan limaran. Motif-motif itu mirip dengan motif batik dari Jawa Timur.
Dahulu, pewarna batik motif itu menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya, kulit pohon tingi yang menghasilkan warna coklat, kayu tegoran untuk warna kuning, dan akar kudu sebagai pewarna sawo matang.
”Sayangnya, bahan-bahan itu sudah sulit didapat,” kata Bukhari.
Selain motif-motif bakaran kuno, Bukhari juga mengembangkan motif kontemporer berdasarkan kekhasan daerah dan tren yang dilihatnya berkembang di masyarakat. Misalnya, motif gelombang cinta, juwana, begisar, kembang rowo, peksi papua, pohon druju, dan jambu alas.

Rabu, 01 April 2009

Koleksi Foto

Penerimaan Upakarti Pelestari Budaya 2008 Mbah Tareman Tjokro Satmoko

Selasa, 17 Mei 2011

Perkembangan Beberapa Pendekatan Manajemen Kinerja
Manajemen kinerja adalah suatu proses yang dirangcang untuk meningkatkan kinerja organisasi, kelompok dan individu yang digerakkan oleh para manajer. Pada dasarnya manajemen kinerja adalah suatu proses yang dilaksanakan secara sinergi antara manajer, individu atau kelompok terhadap suatu pekerjaan di dalam organisasi.
Manajemen kinerja didasarkan kepada kesepakatan tentang sasaran, persyaratan pengetahuan, keahlian, kompetensi, rencana kerja dan pengembangan. Dengan demikian menejemn kinerja mencakup kajian ulang terhadap kinerja secara berkesinambungan dan dilakukan secara bersama berdasarkan kesepakatan mengenai sasaran, persyaratan pengetahuan, keahlian, kompetensi, rencana kerja dan pengembangan, serta pengimplementasian rencana peningkatan dan pengembangan lebih lanjut. Secara khusus manajemen kinerja ditujukan untuk meningkatkan aspek-aspek kinerja yang meliputi: (1)Sasaran yang dicapai,(2) kompetensi yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap (3)Efektivitas kerja.
Konsep manajemen kinerja merupakan salah satu perkembangan yang penting dalam lingkup manajemen. Manajemen mulai terlihat bentuknya pada akhir tahun 1980-an, berkembang dari kesadaran diperlukannya suatu pendekatan yang lebih berkesinambungan terpadu untuk mengelola dan memberikan imbalan bagi kinerja. Manajemen kinerja telah bangkit dari sistem penilaian "merit rating" dan "management-by-objectives (MBO)" yang telah lama ada. Banyak di antara perkembangan terbaru dalam penilaian kinerja (performance appraisal) telah di serap ke dalam konsep manajemen kinerja, yang dijadikan suatu proses manajemen yang lebih luas, lebih lengkap dan lebih alami.
1. “Merit-rating” Sebagai Teknik Evaluasi
Evaluasi dengan merit-arting menuntut para manajer menilai pegawainya berdasarkan berbagi faktor ataupun karateristik pekerjaan atau kepribadian secara objektif. faktor-faktor pekerjaan meliputi elemen-elemen seperti pengetahuan akan tugas pekerjaan yang dihadapi, output yang efektif, pengambilan keputusan dan akurasi kerja. Karakteristik kepribadian dapat mencakup aspek-aspek seperti percaya diri, sikap, perilaku, inisiatif dan konsistensi. System tersebut menuntut para manajer untuk memberikan penilaian kepada staf mereka untuk tiap faktor dalam suatu skala angka 1 sampai 5. Skala tersebut akan didefinisikan dengan suatu deskripsi singkat yang diberikan terhadap level yang berbeda. Misalnya dalam memberikan rating terhadap output yang efektif dalam suatu tata cara penentuan penilaian yang biasa dipakai seorang manajer diminta untuk memilih diantara :
a. Sangat memuaskan – output yang sangat memuaskan dari pekerjaan yang berkualitas tinggi.
b. Memuaskan – tingkat output dan upaya yang memuaskan.
c. Cukup – menyelesaikan dari jumlah pekerjaan efektiv rata-rata.
d. Kurang – output rendah dan pekerjaan yang buruk.
Definisi semacam itu sendiri tidak terlalu membantu karena mereka cenderung mengeneralisasi dan gagal untuk menetapkan standar yang sesungguhnya dapat dipakai untuk membuat suatu penilaian. Satu-satunya alasan mengapa sistem ini masih bertahan adalah karena sistem ini memuaskan hati orang yang tak begitu senang jika mereka tidak dapat mengukur sesuatu, bahkan penilaian terhadap karakteristik kepribadian yang sudah pasti tidak dapat diukur.
Umumnya para manajer juga tidak menyukai system penilaian semacam ini karena alasan-alasan berikut ini :
• Ketidak percayaan akan validitas sistem itu sendiri.
• Tidak suka mengkritik bawahan secara langsung.
• Ketidak mampuan untuk menangani evaluasi dan wawancara.
• Ketidak sukaan akan suatu prosedur yang baru.
Namun demikian banyak organisasi yang terpaksa menggunakan sistem ini karena sistem penilaian harus diterapkan dalam organisasi, Kemudian penilaian ini hanya diperlakukan sebagai suatu hal yang rutin saja. Menurut McGregor penekanannya harusnya bergeser dari penilaian ke analisis: “Ini mengacu pada suatu pendekatan yang lebih positif.bawahan tidak lagi diteliti oleh atasannya agar kelemahan-kelemahannya dapat ditentukan, tetapi lebih banyak dia meneliti dirinya sendiri untuk dapat menentukan bukan hanya kelemahan-kelemahannya sendiri tetapi juga kekuatan-kekuatan dan potensi-potensi, ia menjadi pelaku yang aktif, bukan suatu objek yang pasif. Ia bukan lagi seorang bidak dalam sebuah permainan catur yang dinamakan pengembangan manajemen”.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran kinerja ini juga diteliti di beberapa organisasi di Negara maju yang menemukan bahwa evaluasi kinerja tradisional cenderung memberikan rating secara subjektif terhadap kepribadian seseorang. Penilaian ini membuktikan bahwa para manajer tidak menyukai pemakaian sistem ini dan penggunaannya kurang efektif. Ia mencatat bahwa para penilai diminta untuk memberikan rating kepada karyawan mencakup kebijaksanaan, kesediaan, antusiasme, kedewasaan dan memberikan komentarnya..
Meskipun sistem penilaian menggunakan teknik ini banyak dikritik, namun banyak organisasi yang menggunakannya karena teknik dipandang lebih sederhana dan dapat diterapkan diseluruh unit-unit yang ada dilingkungan organisasi karena dimensi-dimensi yang dinilai menyangkut perilaku yang umum.
2. Manajemen Berorientasi Sasaran (MBO)
Menurut Schermerhorn. R. John, et.al (1995), esensi MBO adalah proses penetapan sasaran (Goal Setting) bersama antara atasan dan bawahan. Melalui penetapan sasaran, para manajer bekerjasama dengan bawahan untuk menetapkan sasaran dan rencana kinerja yang konsisten dengan tingkat pekerjaan dan sasaran organisasi.
Gambar 1. Proses Manajement berdasarkan Sasaran (MBO)








Gambar tersebut menunjukkan kerjasama antara atasan dan bawahan dalam menetapkan sasaran yang akan dicapai dan melalui kebersamaan ini pada gilirannya dapat digunakan untuk penetapan sasaran evaluasi kinerja melalui pendekatan yang partisifatif.



Menurut John Humble (1970) definisi dari manajemen MBO adalah “suatu sistem yang dinamis, bertujuan mengintegrasikan kebutuhan perusahaan untuk menjelaskan dan mencapai target keuntungan serta perkembangannya sesuai dengan kebutuhan manajer untuk memberikan kontribusinya dan mengembangkan dirinya sendiri. ini merupakan tuntutan gaya mengelola bisnis yang perlu dihargai”
Selanjutnya Drucker (1955) yang menyatakan “Manajemen yang efektif harus mengarahkan visi dan upaya semua manajernya kepada sasaran bersama. Ia harus memastikan bahwa tiap manajer memahami hasil apa yang diharapkan dari dirinya. Ia harus memastikan bahwa atasan memahami apa yang dapat diharapkan dari setiap bawahannya. Ia harus dapat memotivasi manajer untuk memaksimalkan upayanya ke arah yang benar. Sementara mendorong tumbuhnya standar kerja yang tinggi, ia juga harus dapat menjadikan hal itu sebagai cara untuk mencapai peningkatan kinerja organisasi daripada kinerja individu”
Kontribusi McGregor (1960) datang dari konsep Teori Y dan Teori X-nya, yang mengatakan bahwa "prinsip pokok yang dikembangkan dari teori Y adalah integrasi: penciptaan kondisi dimana para anggota organisasi dapat mencapai sasaran mereka sebaik mungkin dengan mengarahkan segala upaya ke arah keberhasilan organisasi".
McGregor menekankan,bahwa tujuannya harus mencapai manajemen berdasarkan integrasi dan pengendalian diri. Ia mengkritik beberapai interpretasi dari manajemen berdasarkan saran, yang hanya membawa ke arah tidak lebih dari serangkaian taktik-taktik baru dalam lingkup sebuah strategi dari strategi berdasarkan pengarahan dan pengendalian. Ia juga menekankan bahwa konsepnya mengenai manajemen berdasarkan integrasi dan pengendalian diri sendiri adalah sebuah strategi-suatu cara untuk mengelola manusia, taktiknya dikembangkan berdasarkan kebutuhan manusia. Prosedur yang terstandarisasikan adalah cara yang paling pasti untuk mencegah pengembangan manajemen berdasarkan integrasi dan pengendalian diri. Kontribusi yang signifikan dari Douglas McGregor belum diakui sebagaimana mestinya dan banyak penulis serta konsultan manajemen yang mendaur ulang filsafat ini dan bersikap seolah-olah nereka menciptakan suatu inovasi baru yang besar dalam pemikiran manajemen.
Manajemen berdasarkan sasaran merupakan proses umpan balik yang memerlukan definisi sasaran organisasi yang akan dijabarkan kedalam sasaran bagi masing-masing unit kerja. Tahap berikutnya adalah pembicaraan dan kesepakatan bersama antara bidang-bidang hasil terpenting, sasaran serta rencana tindakan oleh masing-masing manajer secara individu. Hal ini diikuti dengan mengevaluasi ulang hasil yang dicapai oleh masing-masing manajer diumpan balikkan kembali untuk perbaikan masing-masing sasaran dan rencana dari masing-masing individu, unit dan organisasi. Proses ini diilustrasikan pada Gambar 2. (Amstrong, 1994).
Gambar 2. Proses manajemen berdasarkan sasaran



Perlu perbaikan






Perlu perbaikan




Akan tetapi pada akhir tahun 70-an, manajemen berdasarkan sasaran sebagai suatu sistem secara meluas dianggap sebagai suatu sistem yang kurang baik. Seperti komentar dari Robert Schaffer dalam sebuah artikel klasik dari Harvard Business Review (1991) ”Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa program MBO seringkali menghasilkan benteng-benteng tumpukan surat-menyurat yang dipergunakan oeh para manajer untuk berlindung dari keharusan membuat tuntutan. Pada program MBO, sementara daftar sasaran menjadi semakin banyak dan dokumennya menjadi semakin tebal, fokusnya menjadi kian memudar”.
Manajemen berdasarkan sasaran cenderung untuk gagal, bukan hanya karena sifatnya yang birokratis dan sentralistik, tetapi juga karena sistem ini terlalu menekankan kepada sasaran serta output yang dapat dihitung secara kuantitatif, serta sangat sedikit ataupun bahkan sama sekali tidak memperhatikan faktor-faktor kualitatif serta aspek perilaku dari kinerja. Alasan yang lebih lanjut dari kegagalan ini adalah manajemen berdasaran sasaran ini seringkali lebih banyak bersifat proses dari atas ke bawah dengan kurang terjadi dialog antara para manajer dan karyawan yang bertanggungung jawab kepada mereka.
3. Evaluasi Kinerja (Performance Appraisal)
Evaluasi kinerja merupakan sistem formal yang di gunakan untuk mengevaluasi kinerja pegawai secara periodik yang ditentukan oleh organisasi. Evaluasi kerja mempunyai tujuan antara lain:
a. Pengembangan
b. Pemberian Reward
c. Motivasi
d. Perencanaan SDM
e. Kompensasi
f. Komunikasi
Sistem evaluasi kinerja sebagaimana yang dikembangkan sejak tahun 70-an menyertakan beberapa ciri manajemen berdsarkan sasaran yang diistilahkan sebagai “result-operated scheme”.
Pada beberapa hal dimasukkan juga fakto-faktor output (hasil) selain faktor input yang berhubungan dengan perilaku. Hal ini termasuk di Amerika Serikat, termasuk pengembangan metode “Behaviorally Anchored Rating Scale” yang menuntut diidentifikasikannya aspek tanggung jawab suatu pekerjaan atau kelompok pekerjaan. Ada juga yang dibuat dengan menggunaka metode “Critical Inciden Technique” yaitu sebagai suatu metode untuk mendefinisikan pekerjaan berdasarkan perilaku suatu jabatan. Metode ini meminta para manajer yang familiar dengan suatu pekerjaan tertentu untuk mencatat insiden-insiden penting dari perilaku kerja yang dianggap berhasil dan kurang berhasil.
Sistem evaluasi kinerja ini telah cenderung untuk menjadi campuran yang kurang tepat antara penetapan sasaran dan proses rating. Sistem ini seringkali merupakan sesuatu yang dipaksakan sebagai suatu bagian dari sistem birokratis kepada para manajer lini yang kemudian melaksakannya dibawah tekanan sehingga pelaksanaannya kurang efektif
Istilah "appraisal" ini mengandung pengertian bahwa suatu proses dari "top-down" dimana para manajer memberitahukan kepada stafnya bagaimana pandangannya tentang staf meraka. Dan salah satu penyebab dari gagalnya sistem evaluasi kinerja bahwa manajer tidak suka melakukannya - mereka keberatan, dalam istilahnya McGregor, untuk 'Playing at being God'.
4. Manajemen Kinerja
Manajemen kinerja di definisikan oleh Bacal (1999) sebagai proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan atasan langsungnya.
Manajemen kinerja bertujuan untuk membangun harapan yang jelas dan pemahaman tentang:
a. Fungsi kerja esensial yang diharapkan dari para karyawan.
b. Seberapa besar kontribusi pekerjaan karyawan bagi pencapaian tujuan organisasi.
c. Apa arti konkretnya “melakukan pekerjaan dengan lebih baik”.
d. Bagaimana karyawan dan penyelianya bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja karyawan yang sudah ada sekarang.
e. Bagaimana prestasi kerja akan diukur.
f. Mengenali beberapa hambatan kinerja dan menyingkirkannya.
Selanjutnya Noe, dkk (1999) menyebutkan 3 tujuan manajemen kinerja yaitu:
a. Tujuan Stratejik
Manajemen kinerja harus mengaitkan kegiatan pegawai dengan tujuan organisasi.
b. Tujuan Administratif
Kebanyakan organisasi menggunakan evaluasi kinerja untuk kepentingan keputusan administratif seperti pengajian, promosi, pemberhentian pegawai,Dll.
c. Tujuan Pengembangan
Manajemen kinerja bertujuan mengembangkan kapasitas pegawai yang berhasil di bidang kerjanya.

Sistem manajemen kinerja muncul pada akhir tahun 80-an sebagai suatu reaksi terhadap aspek negatif atas penentuan nilai berdasarkan merit rating, manajemen berdasarkan sasaran dan penilaian kinerja sebagaimana yang diuraikan sebelumnya. Perkembangan manajemen kinerja dipercepat oleh faktor-faktor diantaranya adalah (Amstrong, 1994):
 Munculnya manajemen sumber daya manusia sebagai suatu pendekatan yang strategis dan terpadu terhadap pengelolaan dan pengembangan SDM yang bertanggung jawab atas manajemen lini.
 Perlunya menemukan suatu pendekatan yang strategis namun fleksibel dalam mengelola suatu organisasi perusahaan.
 Kesadaran akan kenyataan bahwa kinerja hanya dapat diukur dan dinilai atas dasar suatu model input-proses-output-outcome, dan terlalu konsentrasi terhadap salah satu dari aspek kinerja tersebut dapat mengurangi efek dari keseluruhan sistem.
 Perhatian yang diberikan kepada konsep perbaikan dan pengembangan yang berkelanjutan, dan “Learning Organization” (organiasi pembelajaran).
 Kesadaran bahwa proses mengelola kinerja adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh para manajemen lini disepanjang tahun – bukannya peristiwa tahunan yang diatur oleh departemen personalia.
Manajemen kinerja paling tidak menyertakan bagian dari falsafah manajemen berdasarkan sasaran yang menekankan pentingnya penentuan sasaran dan melakukan evaluasi kinerja sesuai sasaran yang telah disepakati. Namun demikian ada beberapa perbedaan yang cukup penting. Manajemen kinerja yang paling berkembang dapat disimpulkan anatara lain sebagai berikut:
• Dipandang sebagai suatu pengintegrasian proses sasaran organisasi, fungsi, kelompok dan tujuan
• Diperlakukan sebagai suatu proses manajemen yang normal
• Menyangkut semua anggota organisasi sebagai mitra dalam proses tersebut.
• Didasarkan kepada kesepakatan mengenai akuntabilitas, harapan krja dan rencana pengembangan
• Menyangkut kinerja tim.
• Mengukur dan mengevaluasi kinerja dengan mengacu kepada faktor-faktor input/proses dan faktor-faktor output.
• Sebagai suatu proses yang berkesinambungan.
• Memperlakukan evluasi kinerja sebagai suatu proses bersama yang menekankan kepada pandangan yang membangun ke masa depan.
• Difokuskan kepada meningkatkan kinerja, mengembangkan kompetensi dan memanfaatkan potensi.
• Dapat memberikan dasar bagi keputusan untuk penentuan gaji/upah berdasarkan kinerja kalau sistem itu dipergunakan.
• Tidak mengandalkan kepada formulir-formulir dan prosedur yang rumit.
• Perlunya pelatihan agar memiliki keahlian yang diperlukan untuk menentukan kesepakatan, mengevaluasi kinerja dan membimbing serta memberikan konseling kepada para karyawan.
• Secara keseluruhan, lebih mementingkan proses menentukan sasaran, mengelola kinerja sepanjang tahun dan membantu serta mengevaluasi hasil ketimbang dari apa yang seringkali disebut sebagai 'sistem manajemen kinerja' yang implikasinya adalah seperangkat mekanisme agar orang mengerjakan sesuatu dengan cara tertentu.
Terdapat variasi yang luas diantara berbagai pendekatan dalam manajemen kinerja. Ada yang mengatakan sistem manajemen kinerja tidak lebih dari sekedar penentuan nilai berdasarkan jasa “merit rating”, manajemen berdasarkan sasaran atau cara-cara penilaian kinerja tradisional. Ada juga yang mengatakan dan menggunakan sistem ini sebagi dasar bagi suatu sistem penentuan gaji/upah berdasarkan kinerja dan berdasarkan pra-anggapan bahwa gaji/upah adalah motivator yang terbaik, walaupun gaji upah bukan satu-satunya yang menentukan kinerja.
Diakui bahwa pendekatan ini tidak selalu mudah, ini bisa berarti suatu perubahan budaya yang cukup berarti dan diperlukan keahlian baru dikalangan para manajer serta karyawan secara umum. Tetapi ia tidak memerlikan formulir yang rumit, prosedur dan catatan sebagai paduan, dan apabila sikap serta keahlian yang tepat dapat dikembangkan, manajemen kinerja dapat menjadi suatu proses manajemen yang sederhana dan alami.